Kamis, 14 Maret 2013

PSIKOTERAPI


1.      Pengertian Psikoterapi

Psikoterapi yang lahir pada pertengahan dan akhir abad yang lalu, dilihat secara etimologis mempunyai arti sederhana, yakni “psyche” yang artinya jelas, yaitu “mind” atau sederhananya jiwa dan “therapy” dari Bahasa Yunani yang berarti “merawat” atau “mengasuh”, sehingga psikoterapi dalam arti sempitnya adalah “perawatan terhadap aspek kejiwaan” seseorang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Psikoterapi adalah cara pengobatan dengan mempergunakan pengaruh (kekuatan batin) dokter atas jiwa (rohani) penderita, dengan cara tidak mempergunakan obat-obatan, tetapi dengan metode sugesti, nasihat, hiburan, hipnosis, dsb.

Menurut Watson dan Morse (dalam Gunarsa, 2004) psikoterapi dirumuskan sebagai: bentuk khusus dari interaksi antara dua orang, pasien dan terapis, pada mana pasien memulai interaksi karena ia mencari bantuan psikologik dan terapis menyusun interaksi dengan mempergunakan dasar psikologik untuk membantu pasien meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dalam kehidupannya dengan mengubah pikiran, perasaan dan tindakannya. Perumusan lain diberikan oleh Corsini yang mengatakan bahwa psikoterapi sulit dirumuskan secara tepat. Corsini merumuskan psikoterapi sebagai berikut: Psikoterapi adalah proses formal dari interaksi antara dua pihak, setiap pihak biasanya terdiri dari satu orang, tetapi ada kemungkinan terdiri dari dua orang lebih pada setiap pihak, dengan tujuan memperbaiki keadaan yang tidak menyenangkan (distress) pada salah satu dari kedua pihak karena ketidakmampuan atau malafungsi pada salah satu dari bidang-bidang berikut: fungsi kognitif (kelainan pada fungsi berpikir), fungsi afektif (penderitaan atau kehidupan emosi yang tidak menyenangkan) atau fungsi perilaku (ketidak tepatan perilaku)














2.      Tujuan Psikoterapi
Tujuan psikoterapi antara lain:
1.      Menghapus, mengubah atau mengurangi gejala gangguan psikologis.
  1. Mengatasi pola perilaku yang terganggu.
  2. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian yang positif.
  3. Memperkuat motivasi klien untuk melakukan hal yang benar.
  4. Menghilangkan atau mengurangi tekanan emosional.
  5. Mengembangkan potensi klien.
  6. Mengubah kebiasaan menjadi lebih baik.
  7. Memodifikasi struktur kognisi (pola pikiran).
  8. Memperoleh pengetahuan tentang diri / pemahaman diri.
  9. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan interaksi sosial.
  10. Meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan.
  11. Membantu penyembuhan penyakit fisik.
  12. Meningkatkan kesadaran diri.
  13. Membangun kemandirian dan ketegaran untuk menghadapi masalah.
  14. Penyesuaian lingkungan sosial demi tercapai perubahan dan masih banyak lagi.

Beberapa tujuan dari para ahli mengenai Psikoterapi (dalam Gunarsa, 2004) adalah :

1.      Tujuan psikoterapi dengan pendekatan psikodinamik menurut Ivey, et al adalah membuat sesuatu yang tidak sadar menjadi sesuatu yang disadari. Rekonstruksi kepribadiannya dilakukan terhadap kejadian-kejadian yang sudah lewat dan menyusun sintesis yang baru dari konflik-konflik yang lama.

2.      Tujuan psikoterapi dengan pendekatan psikoanalisis menurut Corey dirumuskan sebagai: membuat sesuatu yang tidak sadar menjadi sesuatu yang disadari. Membantu klien dalam menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman yang sudah lewat dan bekerja melalui konflik-konflik yang ditekan melalui pemahaman intelektual.

3.      Tujuan psikoterapi dengan pendekatan Rogerian terpusat pada pribadi, menurut Ivey et al adalah untuk memberikan jalan terhadap potensi yang dimiliki seseorang menemukan sendiri arahnya secara wajar dan menemukan dirinya sendiri yang nyata atau yang ideal dan mengeksplorasi emosi yang majemuk serta memberi jalan bagi pertumbuhan dirinya yang unik.

4.      Tujuan psikoterapi dengan pendekatan behavioristik, dijelaskan oleh Ivey et al sebagai berikut: untuk menghilangkan kesalahan dalam belajar dan berperilaku dan untuk mengganti dengan pola-pola perilaku yang lebih bisa menyesuaikan. Arah perubahan perilaku yang khusus ditentukan oleh klien.



3.      Unsur Psikoterapi

Menurut Masserman (dalam Maulany, 1997) telah melaporkan delapan “parameter pengaruh” dasar yang mencakup unsur-unsur lazim pada semua jenis psikoterapi. Dalam hal ini termasuk :
1.      Peran sosial (“martabat”) psikoterapis
2.      Hubungan (persekutuan terapeutik)
3.      Hak
4.      Retrospeksi
5.      Re-edukasi
6.      Rehabilitasi
7.      Resosialisasi
8.      Rekapitulasi


4.      Perbedaan Psikoterapi dengan Konseling

Berikut adalah beberapa perbedaan antara konseling dan psikoterapi (dalam Mashudi, 2012) :

1.      Konseling pada umumnya menangani orang normal, sedangkan psikoterapi terutama menangani orang yang mengalami gangguan psikologis.
2.      Konseling lebih edukatif, sportif, berorientasi, sadar, dan berjangka pendek. Sedangkan psikoterapi lebih rekonstruktif, konfrontatif, berorientasi tak sadar, dan berjangka panjang.
3.      Konseling lebih terstruktur dan terarah pada tujuan yang terbatas dan konkret. Sedangkan psikoterapi sengaja dibuat lebih ambigu dan memiliki tujuan yang berubah-ubah serta berkembang terus.


5.      Pendekatan Psikoterapi terhadap Mental Illness

1.      Pendekatan Psikoanalisa
Banyak menekankan faktor ketidaksadaran dan berlandaskan pada pengaruh aspek biologis manusia. Tokoh : Sigmund Freud, Jung, Adler, Sullivan, Rank, Fromm, Horney, Erikson.
2.      Behavioristik
Menurut Ellis (Subandi dalam Tooyibi, M & Ngemron, M) , pendekatan yang cukup dekat dengan behavioristik adalah pendekatan kognitif, yang menekankan proses berpikir rasional dalam terapi. Pendekatan ini memandang manusia dari sudut perilaku yang tampak, yang bisa diobservasi dan dan dikuantifikasi. Tokohnya : Sigmund Freud, Figur-figur lain: Jung, Adler, Sullivan, Rank, Fromm, Horney, Erikson.
3.      Humanistik
Pendekatan ini sangat mementingkan nilai-nilai kemanusiaan pada diri seseorang. Tokoh : May, Maslow, Frankl, Jourard.
4.      Client-Centered
Berlandaskan pada pandangan subjektif atas pengalaman manusia, terapi clien-entered menaruh kepercayaan dan meminta tanggung jawab yang lain besar kepada klien dalam menangani berbagai permasalahan. Tokoh : Carl Rogers.
5.      Psikologi Transpersonal
Pendekatan terapi yang menekankan aspek spiritual dalam diri manusia.
6.      Gestalt
Sebagian besar merupakan terapi eksperimental yang menekankan kesadaran dan integrasi, yang muncul sebagai reaksi melawan terapi analitik, serta mengintegrasikan fungsi jiwa dan badan. Tokoh : Fritz Perls.
7.      Transaksional
Model terapi kontemporer yang cndrung kea rah aspek-aspek kognitif dan behavioral, dan dirancang untuk membantu orang-orang dalam mengevaluasi putusan-putusan yang telah dibuatnya menurut kelayakan sekarang. Tokoh : Eric Berne.
8.      Rasional Emotif Terapi
Model terapi yang sangat menekankan peranan pemikiran dan sistem-sistem kepercayaan sebagai akar masalah-masalah pribadi. Tokoh : Albert Ellis.
9.      Realitas
Model terapi yang dikembangkan sebagai reaksi melawan terapi konvensional. Terapi realitas adalah terapi jangka pendek yang fokus pada saat sekarang, menekankan kekuatan pribadi, dan pada dasarnya merupakan jalan di mana para klien bias belajar mencapai keberhasilan. Tokoh : William Glasser.



6.      Bentuk Utama Terapi

1.      Terapi Psikoanalisis
Adalah teknik atau metoda pengobatan yang dilakukan oleh terapis dengan cara menggali permasalahan dan pengalaman yang direpresnya selama masa kecil serta memunculkan dorongan-dorongan yang tidak disadarinya selama ini.
Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengubah kesadaran individu, sehingga segala sumber permasalahan yang ada didalam diri individu yang semulanya tidak sadar menjadi sadar, serta memperkuat ego individu untuk dapat menghadapi kehidupan yang realita.
Didalam terapi psikoanalisis ini sangat dibutuhkan sifat dari terapeutik, maksudnya adalah adanya hubungan interpersonal dan kerja sama yang professional antara terapis dan klien, terapis harus bisa menjaga hubungan ini agar klien dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan bisa rileks menceritakan permasalahan serta tujuannya untuk menemui terapis. Karena focus utama dalam proses terapi ini adalah menggali seluruh informasi permasalahan dan menganalisis setiap kata-kata yang diungkapkan oleh klien.
Beberapa alasan mengapa tujuan utama dari terapi ini adalah penyadaran individu, yakni :
a.       Bila individu menyadari konflik intrapsikisnya atau permasalahan yang ada dalam dirinya, maka individu tidak perlu lagi banyak mengeluarkan energi psikisnya melakukan defence mechanism.
b.      Penyadaran memungkinkan untuk membentuk kembali struktur kepribadian yang selama ini terpisah, maksudnya adalah adanya konfilk antara id, ego, superego yang selama ini tidak berjalan dengan baik. Proses penyadaran dalam terapi ini mengajak individu untuk mengenali kembali dan menerima bagian-bagian diri yang selama ini ditolak, diserang, dan diproyeksikan terhadap orang lain. Setelah itu semua disadari, kemungkinan secara bertahap bagian-bagian dari kepribadian individu akan kembali kokoh.
c.       Penyadaran juga memulihkan kembali hubungan antara dunia internal dan realita eksternal, sehingga individu dapat memandang dunia secara nyata.

2.      Terapi Rasional Emotif
Menurut Ellis (dalam Gunarsa, 2004) mendasarkan pada konsep bahwa berpikir dan berperasaan saling berkaitan, namun dalam pendekatannya lebih menitikberatkkan pada pikiran daripada ekspresi emosi seseorang.

3.      Terapi Client-Centered
Terapi berpusat pada klien (Client Centered Teraphy) merupakan salah satu teknik alternatif dalam praktik pekerjaan sosial, terutama bagi terapis yang tidak begitu menguasai secara baik beberapa teori dan praktik pekerjaan sosial, walaupun begitu bukan berarti tanpa tantangan dan keahlian yang spesific. Beberapa teori dan praktik pekerjaan yang bersifat dasar tetap menjadi kebutuhan mutlak dalam teknik terapi ini. Tulisan ini akan berusaha menjelaskan tentang latarbelakang historis terapi client centered, beberapa asumsi dasar, prinsip, tujuan dan teknik serta proses terapi client centered.

4.      Humanistik-Eksistensial
Terapi-terapi psikodinamik cenderung memusatkan perhatian pada proses-proses tak sadar, seperti konflik-konflik internal yang terletak diluar kesadaran. Sebaliknya, terapi-terapi humanistik-eksistensial juga lebih memusatkan perhatian pada apa yang dialami pasien pada masa sekarang –“disini dan kini”- dan bukan pada masa lampau. Tetapi ada juga kesamaan-kesamaan antara terapi-terapi psikodinamik dan terapi-terapi humanistik-eksistensial, yakni kedua-duanya menekankan bahwa peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman masa lampau dapat mempengaruhi tingkah laku dan perasaan-perasaan individu sekarang, dan kedua-duanya juga berusaha memperluas pemahaman diri dan kesadaran diri pasien.

Terapi kelompok terdiri atas beberapa bentuk, sebagian besar berasal dari jenis-jenis terapi individual yaitu :

a. Kelompok eksplorasi interpersonal

Tujuannya adalah mengembangkan kesadaran diri tentang gaya hubungan interpersonal melalui umpan balik korektif dari anggota kelompok yang lain. Pasien diterima dan didukung oleh kerena itu, utuk meningkatkan harga diri, tipe ini yang paling umum dilakukan.

b. Kelompok Bimbingan-Inspirasi

Kelompok yang sangat terstruktur, kosesif, mendukung, yang meminimalkan pentingnya dan memaksimalkan nilai diskusi didalam kelompok dan persahabatan. Kelompoknya mungkin saja besar, anggota kelompok dipilih sering kali kerena mereka”mempunyai problem yang sama”

c. Terapi Berorientasi Psikoanalitik

Suatu tehnik kelompok dengan struktur yang longgar, terapis melakukan interprestasi tentang konflik yang  disadari  pasien dan memprosesnya dari obserpasi interaksi antar anggota kelompok. Sebagian besar terapi kelompok yang sukses tampaknya bergantung lebih pada pengalaman, sensitivitas, kehangatan, dan kharisma pemimpin kelompok dari pada orientasi teori yang dianut (tomg, 2004)



DAFTAR PUSTAKA


bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php


Gunarsa, D.S. (2004). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
Mashudi, F. (2012). Psikologi Konseling. Jogjakarta: IRCiSoD.
Maulany, R.F. (1997). Buku Saku Psikiatri: Residen Bagian Psikiatri UCLA. Jakarta. Penerbit Buku kedokteran EGC.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 3. Jogjakarta. Kanisius.
.